Sebagian besar masyarakat mengenal ikan buntal sebagai ikan yang mengandung racun tetrodotoksin. Tetrodotoksin (TTX) adalah racun potensial yang menyerang saraf dengan berat molekul rendah dan pertama kali diisolasi pada tahun 1950 sebagai prisma kristal dari racun ikan buntal oleh Yokoo. TTX menghambat konduksi saraf dan otot yang secara selektif memblokir saluran natrium sehingga mengakibatkan kelumpuhan pernafasan dan menyebabkan kematian. Racun pada ikan buntal sebenarnya tidak bersifat endogen melainkan eksogen, karena racun tersebut berasal dari bakteri laut yang diakumulasi oleh ikan buntal dari makanannya.
Hal tersebut berdasarkan penelitian dari Noguchi dan Arakawa yang menguji lebih dari 6000 spesimen ikan buntal laut jenis Takifugu rubripes yang dibudidayakan dengan non-diet yang mengandung TTX di lingkungan tertentu (bersih kandang di laut atau tanah yang terletak di delapan aquarium prefektur Jepang) dan memeriksa toksisitas hati mereka dengan beberapa bagian tubuh lainnya, termasuk organ reproduksi dan jaringan otot, menggunakan bioassay TTX. Semua spesimen tidak beracun, yaitu toksisitas mereka berada di bawah batas deteksi (2-10 MU/g). Selanjutnya, kromatografi cair atau analisis spektrometri massa menunjukkan bahwa tak satu pun dari 20 hati spesimen dari Nagasaki dan 5 hati spesimen dari Yobuko mengandung TTX, yaitu dengan kadar berada dibawah 0,1-0,4 MU/g.
Ikan buntal yang dibudidayakan (tidak beracun) spesies T. rubripes kembali menjadi beracun selama 40 hari ketika diberi makan 4 MU TTX/g massa tubuh/hari, dan selama 100 hari ketika diberi makan 0,5 MU TTX/g massa tubuh/hari. Sesudah itu, toksisitas secara terus-menerus meningkat hingga akhir periode percobaan. Selain itu tiga jenis ikan (non buntal) tidak mengandung TTX, bahkan setelah dibudidayakan selama 139 hari ketika diberi makan 4 MU TTX/g massa tubuh/hari. Jenis ini nampaknya tidak bisa mengakumulasi TTX melainkan mengeluarkan TTX dari tubuhnya.
Pada suatu eksperimen pemberian pakan yang serupa menggunakan PSP [yang terdiri atas STX dan neosaxitoxin ( neoSTX)] berisi diet untuk 60 hari, ikan buntal non-toksik juga menyerap PSP. Nilai toksisitas mereka, hanya 21% hingga 53% dengan dosis TTX yang diberikan sama yaitu sebagai kontrol (data tidak diterbitkan). Ikan buntal spesies laut lebih selektif dalam mengakumulasi TTX dibanding PSP. Hasil ini dengan jelas menunjukkan bahwa TTX dari ikan buntal bukanlah endogenus, tetapi diperoleh dari rantai makanan. Kemungkinan lain adalah bahwa TTX diproduksi oleh simbiotik atau bakteri seperti parasit yang secara langsung terkumpul di dalam tubuh dan tidak diperoleh via rantai makanan. Jumlah TTX yang diproduksi oleh bakteri nampaknya terlalu kecil untuk akumulasi TTX pada ikan buntal, oleh karena itu bioconcentration mungkin mempunyai suatu peran besar dalam akumulasi tentang TTX pada ikan buntal. Selain itu, berdasarkan pengamatan 6000 spesimen ikan buntal yang dibudidayakan lebih dari 1 tahun di dalam akuarium hasilnya pun tidak beracun. TTX diproduksi di dalam usus ikan buntal oleh bakteri laut merupakan penyokong pelengkap dalam akumulasi TTX pada ikan buntal.
Beberapa bakteri laut mengandung TTX yang kemudian diakumulasi oleh ikan buntal. Adapun beberapa mikroorganisme yang dapat menyebabkan racun TTX yaitu Planocera spp, Lineus fuscoviridi, Tubulanus punctatus, Cephalothrix linearis, Charonia sauliae, Babylonia japonica, Tutufa lissostoma, Zeuxis siquijorensis, Niotha clathrata, Niotha lineate, Cymatium echo, Pugilina ternotoma, Hapalochlaena maculosa, Pseudopolamilla occelata, Atergatis floridus, Zosimus aeneus, Carcinoscorpius rotundicauda, Parasagitta spp, Flaccisagitta spp, Astropecten spp, Yongeichthys criniger, Taricha spp, Notophthalmus spp, Cynopsis spp, Triturus spp, Atelopus spp, Colostethus sp, Polypedates sp, Brachycephalus spp. Mikroorganisme tersebut dapat mendistribusikan racun bukan hanya dari ikan buntal saja melainkan dari organisme lainnya.
Tidak selamanya TTX merugikan karena sebenarnya TTX memiliki peran yang sangat penting dalam neurofisiologi, bidang studi lain sebagai reagen penelitian (sodium channel blocker tertentu). TTX di Cina digunakan sebagai obat klinis (suatu analgesik untuk pasien kanker terminal). Di Jepang, TTX klinis sebelumnya diterapkan sebagai analgesik untuk neuralgia dan rematik. Sebuah pemahaman yang menyeluruh tentang sifat biokimia dan mekanisme akumulasi TTX akan memfasilitasi pengembangan teknologi untuk menggunakan TTX atau organisme penghasil TTX sebagai reagen dan obat-obatan, atau untuk menghasilkan ikan buntal budidaya non-toksik yang hatinya dapat digunakan sebagai makanan yang bebas racun.
Sebagian orang awam mungkin tidak percaya jika ikan buntal dikonsumsi. Hal tersebut sebenarnya fenomena yang ironi karena di Jepang ikan ini merupakan salah satu menu yang sangat digemari. Beberapa restoran di Jepang menjadikan ikan ini sebagai menu utamanya dan hanya koki-koki yang bersertifikatlah yang dapat menyajikan menu ikan buntal. Ikan buntal yang sering dikonsumsi di Jepang adalah jenis Takifugu rubripes. Teknik penanganan dan preparasi ikan buntal di Jepang merupakan secret ilmu yang tidak mereka publikasikan pada dunia luar.
Hal itu pun merupakan ironi bagi beberapa daerah di Indonesia karena mereka sebenarnya telah mengkonsumsi ikan buntal jenis Tetraodon lunaris atau yang lebih dikenal dengan nama ikan buntal pisang. Salah satu daerah di Indonesia yang mengkonsumsi ikan tersebut adalah desa Gebang Mekar, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Nelayan-nelayan di desa ini biasanya mengkonsumsi ikan ini dengan teknik penanganan dan preparasi mereka sendiri, dan hasilnya belum pernah terjadi kasus keracunan selama beberapa tahun terakhir, bahkan ada beberapa nelayan yang mengkonsumsi hati ikan ini dan hasilnya tak ada gejala keracunan yang dapat mematikan.
Preparasi yang dilakukan oleh para nelayan desa Gebang Mekar yaitu dengan cara memotong bagian dorsal antara kepala dan badan, dengan sudut 45˚ hingga batas tulang perut (jangan sampai terkena bagian jeroannya). Kulit pada bagian badan kemudian ditarik hingga didapatkan daging ikan. Penarikan kulit harus dilakukan secara hati-hati agar jeroan tidak rusak, karena menurut pengalaman empiris kandungan racun tetrodotoksin terdapat pada bagian jeroannya tepatnya di empedu. Penarikan kulit yang dilakukan tidak secara hati-hati menyebabkan empedu pecah dan tetrodotoksin akan menyebar.
0 komentar:
Posting Komentar